19.05.2025
Reading time: 2 min

Runtuhnya Sebuah Imperium: AC Milan Terpuruk, Eropa Hanya Mimpi

Lorina Sofi
Lorina Sofi
Runtuhnya Sebuah Imperium: AC Milan Terpuruk, Eropa Hanya Mimpi

San Siro, Mei 2025 — Dulu mereka penguasa Eropa. Kini, mereka bahkan tak bisa mendapat undangan ke Conference League. AC Milan resmi tersingkir dari seluruh kompetisi Eropa musim depan. Ini bukan sekadar kegagalan. Ini adalah kehancuran sebuah warisan.

Malam kelam di Olimpico saat Milan dipermalukan AS Roma 1-3 menjadi titik nadir. Hanya seminggu setelah kalah di final Coppa Italia, kini Rossoneri benar-benar kehilangan segalanya.

Krisis Dimulai dari Kartu Merah, Meledak di Roma

Pertandingan baru berjalan 21 menit saat Santiago Gimenez diusir keluar karena menyikut Gianluca Mancini. Wasit melihat ulang lewat VAR—dan langsung mengacungkan kartu merah. Dari situ, Milan kehilangan keseimbangan, kehilangan kepala, dan perlahan—kehilangan musim.

Roma tak butuh banyak waktu. Mancini mencetak gol pertama dari situasi bola mati. Milan sempat menyamakan kedudukan lewat Joao Felix setelah rebound dari Alex Jimenez, namun hanya sebentar. Leandro Paredes menghukum mereka lewat tendangan bebas, dan Cristante menyempurnakan penderitaan dengan sepakan jarak jauh yang tak mampu dibendung Maignan.

Sergio Conceicao Meledak: “Kami Gagal di Momen Terpenting”

Pelatih Sergio Conceicao, yang awalnya digadang-gadang membawa napas baru pasca Ten Hag, akhirnya tak kuasa menahan emosinya. Ia diusir dari pinggir lapangan, dan kemungkinan besar tidak akan kembali musim depan.

“Saya tidak bisa bersama pemain saya. Saya hanya meminta dihormati, dan saya diusir. Padahal sejak saya datang, statistik kami layak masuk empat besar,” ujarnya getir.

“Kami memenangkan Supercoppa, mencapai final Coppa Italia. Tapi di laga-laga penentu, kami selalu tumbang. Itu yang membunuh kami.”

Milan Tanpa Identitas, Tanpa Harapan

Musim ini adalah mimpi buruk berkepanjangan. Milan tidak hanya gagal di lapangan—mereka gagal secara visi. Tidak ada identitas permainan, tidak ada kestabilan, tidak ada kepemimpinan. Kemenangan kecil di Supercoppa kini hanya kenangan pahit dari tim yang terlalu sering kehilangan momen penting.

Kini mereka menghadapi musim panas dengan luka terbuka:

  • Tanpa tiket Eropa
  • Tanpa pelatih tetap
  • Dengan skuad yang kebingungan, dan fans yang kelelahan

Apakah Ini Akhir Sebuah Era?

Bagi banyak Milanisti, ini bukan hanya kegagalan musim biasa. Ini adalah pertanda bahwa Rossoneri perlu revolusi menyeluruh, dari ruang ganti hingga ruang dewan. Tak ada lagi ruang untuk kompromi.

San Siro tak lagi menjadi benteng.
Rossoneri tak lagi ditakuti.
Dan untuk pertama kalinya dalam dekade terakhir, Milan bukan hanya gagal—mereka kehilangan harapan.