30.07.2025
Waktu membaca: 10 min

Jesse Owens: Kehidupan dan Nasib Tragis Sang Juara Olimpiade

Jesse Owens: Kehidupan dan Nasib Tragis Sang Juara Olimpiade

James Cleveland Owens (yang lebih dikenal dengan nama Jesse Owens) adalah seorang atlet trek dan lapangan asal Amerika Serikat. Ia meraih ketenaran internasional pada Olimpiade 1936, di mana ia menjadi juara Olimpiade dengan empat medali emas. Owens memenangkan emas di nomor lari 100 meter, 200 meter, lompat jauh, dan estafet 4×100 meter. Pada nomor estafet, ia juga mencetak rekor dunia.

Prestasi luar biasa Jesse Owens ini baru dapat disamai oleh Carl Lewis pada Olimpiade 1984. Di luar pencapaian atletiknya, Owens dianggap sebagai pelopor yang membuka jalan bagi atlet kulit hitam untuk masuk ke dunia olahraga profesional. Ia menempati peringkat keenam dalam daftar atlet terhebat abad ke-20 — sebuah pengakuan yang diumumkan dalam ajang BBC Sports Personality of the Year.

Fakta menarik dari biografi bintang atletik Jesse Owens

  • Selama masa kuliahnya di Ohio State University, Jesse Owens dianggap sebagai kebanggaan universitas. Namun, karena kebijakan segregasi rasial saat itu, ia tidak diizinkan tinggal di dalam kampus dan harus tinggal di luar area kampus. Saat bepergian, ia hanya bisa menginap di hotel yang dikhususkan untuk tamu kulit hitam dan berbelanja kebutuhan di toko-toko khusus.
  • Banyak sejarawan olahraga ternama menganggap pencapaian Jesse Owens sebagai salah satu yang paling luar biasa dalam sejarah olahraga abad ke-20.
  • Menurut pelari Amerika James LuValle, Owens adalah atlet trek dan lapangan kulit hitam pertama yang tampil di depan publik dengan mengenakan sepatu buatan merek Eropa — Adidas.

Masa kecil dan remaja

James Cleveland Owens lahir pada 12 September 1913 di Oakville, Alabama. Ia adalah anak kesepuluh dari keluarga besar. Menurut laporan yang belum dikonfirmasi, orang tuanya adalah anak-anak dari mantan budak yang dulu bekerja di perkebunan. Jika informasi ini benar, Owens termasuk generasi kedua dari keturunan Afrika-Amerika yang lahir sebagai orang bebas.

Ayahnya bernama Henry Cleveland Owens, dan ibunya Mary Emma Fitzgerald. Sebelum hukum segregasi diterapkan secara luas di Amerika Serikat, keluarga ini bekerja di bidang pertanian. Namun, ketika diskriminasi rasial di wilayah tenggara negara itu menjadi tak tertahankan, mereka pindah ke Cleveland, Ohio, dan menetap di dekat Danau Erie.

Di Cleveland inilah terjadi kekeliruan dengan nama Jesse. Ketika ia mulai bersekolah, aksen khas Selatan yang ia miliki membuat staf sekolah salah paham. Inisial namanya, “J.C.,” terdengar seperti “Jesse,” dan ia pun secara resmi didaftarkan dengan nama tersebut. Sejak saat itu, ia dikenal sebagai Jesse Owens. Selama masa sekolah, ia menunjukkan bakat besar dalam mata pelajaran bahasa Inggris, matematika, dan sastra.

Jesse hampir tidak memiliki waktu luang—ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membantu orang tuanya. Sejak kecil, ia mengambil berbagai pekerjaan sambilan, mulai dari asisten pembuat sepatu hingga kuli angkut barang, demi membantu keuangan keluarga. Ia memiliki tinggi badan 180 sentimeter, berat 75 kilogram, dan kecintaan alami terhadap lari cepat.

Kegemarannya terhadap lari menarik perhatian sang ayah, yang bekerja di pabrik baja. Ketika Jesse ditawari untuk bergabung dalam program atletik di bawah bimbingan pelatih Charles Riley, keluarganya berkumpul dan berdiskusi mengenai kesempatan itu. Mereka sepakat bahwa peluang seperti ini tidak boleh disia-siakan. Kedua orang tuanya ingin memberi Jesse kebebasan untuk mengejar apa yang benar-benar ia cintai.

Ternyata, keputusan itu berdampak besar pada sisa hidup Jesse Owens. Menyelesaikan program pelatihan fisik dasar di East Technical High School di bawah bimbingan pelatih yang dihormati dan berpengalaman memberinya kesempatan untuk menyamai rekor dunia dalam lari 100 yard dan lompat jauh pada kejuaraan antarsekolah tahun 1933 yang diadakan di Chicago.

Keluarga Jesse sangat ingin ia terus mengejar karier di bidang olahraga. Ayahnya menghabiskan waktu cukup lama untuk mencari pekerjaan tetap yang bisa menghidupi keluarga besar mereka. Setelah mendapatkan pekerjaan, Jesse pun bisa melanjutkan pendidikannya dan mendaftar di Ohio State University, tempat ia terus berlatih di cabang atletik.

Sebagai mahasiswa sekaligus atlet, Jesse berkompetisi di bawah arahan pelatih Larry Snyder. Dalam ajang NCAA (National Collegiate Athletic Association) pada pertengahan tahun 1930-an, ia meraih delapan medali emas di nomor individu. Namun, kemenangan itu tidak memberinya hak istimewa ataupun keuntungan finansial. Ia tidak menerima beasiswa, dan penghasilan ayahnya hanya cukup untuk kebutuhan keluarga. Di sela-sela kuliah dan latihan, Jesse juga harus bekerja dan sering membantu keluarganya secara finansial.

Perjalanan sulit ke Olimpiade 1936

Kisah hidup Jesse Owens tak bisa dipisahkan dari prasangka rasial. Ia merupakan salah satu dari sedikit pelari kulit hitam pada masanya dan kerap menghadapi diskriminasi — mulai dari ditolak dilayani di kafe hingga ditolak menginap di hotel. Meski penuh tantangan, Owens tetap optimis. Ia percaya bahwa rasisme hanya hidup di benak mereka yang memilih untuk mempercayainya. Semua pengalaman pahit itu ia salurkan ke dalam latihan.

Calon juara Olimpiade ini melakukan perjalanan ke berbagai penjuru Amerika Serikat dan akhirnya masuk dalam USA Track and Field Hall of Fame. Momen penting dalam kariernya terjadi pada 25 Mei 1935, saat kompetisi Big Ten di Ferry Field, Ann Arbor, Michigan. Di sana, Owens memecahkan tiga rekor dunia dan menyamai satu rekor lainnya — pencapaian luar biasa yang mengejutkan dunia olahraga. Rekor-rekor paling impresifnya tercipta di nomor lari 100 meter, 200 meter, dan lompat jauh, menjadikannya kandidat utama untuk Olimpiade Berlin 1936.

Untuk memenuhi ekspektasi besar yang dibebankan kepadanya, Owens pergi ke California untuk berlatih dan bertanding. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia dikelilingi oleh kemewahan — bintang film, penggemar, dan berbagai macam godaan. Perhatian publik yang datang silih berganti memang menyenangkan, namun nyaris menggoyahkan fokusnya menjelang Olimpiade. Gaya hidup baru ini hampir membuatnya kehilangan karier atletiknya, terlebih ketika media mulai mengalihkan sorotan ke para pesaing barunya.

Jesse Owens segera menyadari bahwa gaya hidup santai yang dijalaninya mulai berdampak buruk pada performa atletiknya. Ia pun memutuskan untuk kembali ke Ohio, tempat ia telah memiliki keluarga sendiri. Owens menjalani peran sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab dan mulai mengikuti program latihan yang fokus dan disiplin untuk menghadapi Olimpiade di Berlin. Secara bertahap, performanya kembali ke level semula dan ia kembali merasa pantas menjadi kandidat kuat peraih emas Olimpiade.

Saat Owens mulai kembali ke performa terbaiknya demi Olimpiade Berlin, seruan boikot terhadap ajang tersebut makin menggema di Amerika Serikat. Para aktivis dan tokoh masyarakat mendesak tim AS untuk menarik diri dari kompetisi tersebut karena kebijakan diskriminatif rasial dan meningkatnya antisemitisme di bawah rezim Nazi Jerman. Owens secara khusus mendapat tekanan publik agar menolak ambil bagian.

Untuk mengambil keputusan akhir, pemerintah AS mengirim delegasi ke Jerman untuk menilai langsung situasi di lapangan. Utusan tersebut melaporkan bahwa tidak ada ancaman langsung terhadap keselamatan para atlet internasional. Sekembalinya ke AS, Presiden Komite Olimpiade Amerika, Avery Brundage, menuduh para pendukung boikot sebagai pelaku propaganda anti-Amerika dan pihak yang menekan atlet secara tidak adil.

Brundage bersikeras bahwa Jerman mempersiapkan Olimpiade dengan sangat profesional dan tidak akan membiarkan isu konflik rasial atau etnis mencoreng ajang tersebut. Pernyataannya tidak sepenuhnya keliru — selama Olimpiade berlangsung, Nazi Jerman memang berusaha keras menampilkan citra damai dan tertib di mata dunia.

Kemenangan di Olimpiade Berlin

Jesse Owens dan para atlet lainnya akhirnya memutuskan untuk berpartisipasi dalam Olimpiade 1936 dan berlayar menuju Jerman dengan kapal SS Manhattan. Owens tidak hanya menunjukkan performa luar biasa, tetapi juga sepenuhnya menggagalkan rencana pemerintah Jerman.

Menurut pimpinan rezim Nazi, tujuan utama dari Olimpiade 1936 adalah untuk menunjukkan superioritas ras kulit putih, ras Arya. Namun, Jesse Owens berhasil menghancurkan narasi tersebut. Untuk memberi kredit pada panitia penyelenggara Olimpiade, medali diberikan murni berdasarkan prestasi, dan tidak terlihat adanya diskriminasi rasial selama kompetisi berlangsung. Adolf Hitler secara pribadi menyerahkan medali kepada para pemenang nomor lari 100 meter. Owens tidak hanya menang — ia juga menyamai rekor dunia dan mengalahkan para atlet Jerman di tanah mereka sendiri.

Sorotan utama Olimpiade terjadi pada nomor lompat jauh, di mana Jesse Owens bersaing memperebutkan medali emas dengan atlet Jerman Luz Long. Owens tidak hanya menang, tetapi juga mencetak rekor Olimpiade baru. Yang luar biasa, rival asal Jermannya tidak menunjukkan kekecewaan—bahkan, Long berjalan bergandengan tangan dengan Owens mengelilingi stadion dalam putaran kemenangan. Perayaan bersama atas medali emas dan perak ini memikat penonton dan memicu gelombang kekaguman.

Keesokan harinya, ketika Owens tampil di nomor lari 200 meter, puluhan ribu penonton meneriakkan namanya dari tribun.

Di Olimpiade Berlin 1936, Jesse Owens berhasil meraih empat medali emas, memenangkan setiap nomor yang ia ikuti. Medali keempatnya sebenarnya tidak direncanakan. Panitia Komite Olimpiade Amerika Serikat menuntut penghapusan dua pelari estafet keturunan Yahudi, Marty Glickman dan Sam Stoller, dari tim. Owens secara enggan mengisi salah satu posisi kosong tersebut. Meski keputusan itu membuatnya tidak senang, para pejabat dari delegasi Amerika tidak mengajukan keberatan.

Sang juara Olimpiade empat kali itu telah menciptakan sensasi global. Jesse Owens dipuji dalam berbagai tajuk berita dan dielu-elukan di seluruh dunia — namun sayangnya, saat kembali ke tanah air, ia disambut dengan kekecewaan yang mendalam.

Seorang juara Olimpiade yang tak dibutuhkan siapa pun

Sekembalinya ke Amerika, Jesse Owens segera menyadari bahwa status barunya dan kehormatan Olimpiade yang diraihnya tidak berarti banyak di tanah air. Ia justru terpinggirkan dari masyarakat. Meskipun terkenal secara internasional, sang juara Olimpiade tetap menghadapi diskriminasi rasial. Ia dilarang hadir di banyak acara olahraga — bahkan yang bersifat amatir — dan janji kontrak iklan yang menggiurkan tidak pernah terwujud.

Pada usia 23 tahun, Owens terpaksa meninggalkan Universitas Negeri Ohio tanpa pernah menerima beasiswa. Untuk menghidupi keluarganya, ia menerima pekerjaan apa pun yang bisa ia dapatkan — bekerja di tempat binatu hingga berlomba lari melawan anjing pemburu, kanguru, dan kuda demi mencari nafkah. Masyarakat tidak memberi tempat bagi pahlawan Olimpiade kulit hitam.

Meskipun meninggalkan dunia olahraga profesional, Owens mendedikasikan dirinya untuk pengabdian masyarakat. Ia bekerja erat dengan anak muda dan terlibat dalam berbagai inisiatif sosial. Meski Partai Republik memiliki politisi yang menentang kesetaraan ras, Owens memilih bergabung untuk mendukung kampanye Alf Landon melawan Presiden Roosevelt.

Barulah setelah Perang Dunia II, dunia kembali mengingat sang juara Olimpiade ini. Pada tahun 1951, bersama mantan rival Olimpiadenya Ralph Metcalfe, ia mulai ikut serta dalam acara amal untuk mendukung klub olahraga anak-anak. Owens kembali merasakan kegembiraan kemenangan dengan memenangi lomba lari dan lompat jauh. Awal 1950-an, ia ditunjuk sebagai duta resmi Amerika Serikat untuk Olimpiade Melbourne. Tahun 1955, ia berkunjung ke India, Pakistan, dan Singapura atas undangan organisasi setempat. Setahun kemudian, Owens dituduh memiliki hubungan dengan kaum komunis, namun penyelidikan FBI membuktikan bahwa tuduhan itu tidak berdasar.

Pada tahun 1972, Jesse Owens dianugerahi gelar Doktor Kehormatan di bidang Ilmu Pengetahuan dari Universitas Negeri Ohio. Dua tahun kemudian, ia dilantik ke dalam USA Track and Field Hall of Fame. Pada tahun 1976, Presiden Gerald Ford menganugerahinya Medali Kebebasan Presiden, dan pada tahun 1979, Owens secara resmi diakui sebagai Legenda Hidup Amerika Serikat.

Kehidupan pribadi Jesse Owens

Atlet legendaris cabang atletik ini bertemu dengan calon istrinya, Minnie Ruth Solomon, saat mereka masih remaja — Jesse berusia 15 tahun dan Minnie 13 tahun. Anak pertama mereka lahir pada tahun 1932, dan mereka menikah pada tahun 1935. Setelah itu, mereka dikaruniai dua putri lagi, Marlene dan Beverly. Pernikahan mereka bertahan hingga akhir hayat Jesse.

Jesse Owens meninggal dunia pada tahun 1980 akibat kanker paru-paru. Ia menghabiskan hari-hari terakhirnya di sebuah rumah sakit di Tucson, Arizona, dikelilingi oleh keluarga. Sesuai dengan keinginannya, keluarga Jesse memakamkannya di Oak Woods Cemetery di Chicago. Ia meminta agar tidak diadakan upacara yang mewah. Permintaan itu dihormati oleh keluarganya dengan menggelar upacara sederhana dan tertutup.

Rekor Jesse Owens

  • Lari 100 yard: 9,4 detik
  • Lari 220 yard: 20,3 detik
  • Lari 220 yard dengan rintangan: 22,6 detik
  • Lompat jauh: 8,13 meter (pertama kalinya dalam sejarah jarak 8 meter berhasil dilampaui)
-->