19.08.2025
Waktu membaca: 4 min

Pertahanan Arsenal Dijuluki “Forcefield Defence” Usai Bungkam Manchester United di Old Trafford

Lorina Sofi
Lorina Sofi
kemenangan Arsenal Menggunkan taktik Forcefield Defence

Kemenangan Arsenal atas Manchester United di Old Trafford pada 17 Agustus 2025 menegaskan kokohnya lini belakang The Gunners yang belakangan dijuluki “Forcefield Defence”. Gol tunggal Riccardo Calafiori pada menit ke-13, yang berawal dari kesalahan kiper Altay Bayindir dalam mengantisipasi tendangan pojok, menjadi penentu kemenangan tipis 1-0 bagi Arsenal (Reuters, 17 Agustus).

Meski Manchester United tampil dominan dengan 61% penguasaan bola dan mencatatkan 22 tembakan berbanding hanya 9 dari Arsenal, pertahanan rapat William Saliba dan Gabriel Magalhães ditopang Declan Rice mampu membuat mayoritas peluang Setan Merah tidak berbuah ancaman berarti (The Times, 17 Agustus).

Media Inggris kemudian ramai menyoroti rapatnya pertahanan ini, menyebut Arsenal berhasil menciptakan “lapisan pelindung” di depan gawang David Raya yang membuat serangan United mentah sebelum mencapai sasaran.

Anatomi Forcefield Defence: Bagaimana Arsenal Membangun Perisai Kokoh

Secara konsep, Forcefield Defence merujuk pada strategi bertahan super solid yang tidak hanya bertumpu pada kualitas individu bek, tetapi pada koordinasi seluruh tim. Lini belakang dan gelandang bertahan selalu menjaga jarak rapat antarposisi sehingga lawan kesulitan mencari ruang di antara lini. Pressing yang dilakukan pun terukur, bukan agresif tanpa arah, melainkan fokus menutup jalur umpan penting dan memaksa lawan bermain melebar. Ketika satu pemain maju menutup ruang, pemain lain dengan cepat mengisi posisi yang ditinggalkan agar tidak muncul celah. Kolaborasi ini semakin lengkap dengan kontribusi Declan Rice sebagai pelindung lini tengah serta winger yang rajin turun membantu pertahanan. Dengan pola yang rapat dan disiplin ini, Arsenal seolah menciptakan lapisan tak terlihat di depan gawang, yang kemudian populer disebut sebagai Forcefield Defence.

Kemenangan tipis 1–0 Arsenal atas Manchester United di Old Trafford pada 17 Agustus 2025 memperlihatkan soliditas pertahanan The Gunners yang kemudian dijuluki “Forcefield Defence”. Gol penentu datang dari Riccardo Calafiori menit ke-13 melalui tandukan hasil situasi sepak pojok usai kiper Altay Bayindir melakukan kesalahan—sebuah momen yang dieksploitasi dengan cepat oleh William Saliba di depan gawang (The Sun, 17 Agustus).

Apa Itu Forcefield Defence

Forcefield Defence pada dasarnya adalah gaya bertahan yang menciptakan kesan seperti “dinding tak terlihat” di depan gawang. Lawan boleh saja mendominasi penguasaan bola, namun peluang berbahaya hampir tidak pernah tercipta karena ruang tembak dibatasi secara ketat, lini serang dipaksa melakukan kesalahan, dan penjaga gawang mendapat perlindungan ekstra dari blok pertahanan yang rapat. Filosofi ini memiliki kemiripan dengan konsep klasik “defend as a unit” yang dipopulerkan oleh banyak tim top Eropa, tetapi Arsenal menyajikannya dalam bentuk lebih modern melalui pressing terukur, rotasi dinamis antar pemain, serta kontribusi kolektif seluruh lini, mulai dari bek hingga winger.

Tim Lain yang Menerapkan Forcefield Defence

Arsenal bukan satu-satunya tim yang menerapkan gaya pertahanan semacam ini. Beberapa klub Eropa juga dikenal dengan pendekatan serupa pada periode tertentu:

  • Manchester City (2017–sekarang, era Pep Guardiola)

    → sejak musim 2017/18, City dikenal dengan blok tinggi yang rapat dan bek tengah agresif menutup ruang antar lini. Puncaknya terlihat pada musim 2020/21 ketika mereka hanya kebobolan 32 gol di Premier League.

  • Inter Milan (2020–2023, era Antonio Conte & Simone Inzaghi)

    → sistem tiga bek yang membuat area tengah sangat sulit ditembus, terutama ketika meraih Scudetto 2020/21. Pada musim 2022/23, Inter bahkan mencapai final Liga Champions berkat pertahanan solid mereka.

  • Real Madrid (2014–2018, era Zinedine Zidane)

    → kokoh dalam bertahan di Liga Champions dengan blok rapat, ditambah transisi serangan balik cepat. Gaya ini menjadi pondasi tiga gelar UCL beruntun (2016–2018).

  • Atletico Madrid (2012–sekarang, era Diego Simeone)

    → identik dengan blok rendah rapat sejak meraih La Liga 2013/14. Hingga kini, gaya bertahan rapat cholismo masih jadi ciri khas Simeone dan kerap dianggap salah satu bentuk klasik Forcefield Defence.

     

Namun, Arsenal mendapat sorotan khusus karena berhasil menggabungkan kekompakan defensif dengan transisi menyerang cepat, sesuatu yang tidak semua tim mampu lakukan.
​​

Efektivitas Forcefield Defence

Sejauh ini, efektivitas Forcefield Defence terbukti dalam tiga aspek utama:

  1. Minim kebobolan → Arsenal menjadi salah satu tim dengan pertahanan terbaik di Eropa.
  2. Meningkatkan rasa percaya diri → Dengan lini belakang yang solid, lini depan bisa lebih fokus menyerang tanpa khawatir kebobolan mudah.
  3. Stabil di laga besar → Kemenangan atas Manchester United di Old Trafford menjadi bukti pertahanan ini mampu menghadapi tekanan pada pertandingan krusial. 

Pendapat ini memperlihatkan bahwa Forcefield Defence bukan sekadar istilah media, tetapi diakui oleh para pakar sebagai fondasi kesuksesan Arsenal.

Menurut Dean Scoggins dalam artikelnya di The Sun (19/08), Arsenal berhasil menerapkan apa yang ia sebut “forcefield defence” di Old Trafford. Pertahanan rapat ini efektif meredam gempuran Manchester United dan mengamankan kemenangan berkat strategi bola mati.

Dengan organisasi pertahanan yang rapat, data statistik yang kuat, serta pengakuan dari pakar dan legenda sepakbola, tidak berlebihan jika julukan “Forcefield Defence” disematkan pada Arsenal. Strategi ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan identitas baru yang bisa menjadi pondasi penting dalam upaya mereka menjuarai Liga Inggris dan bersaing di Eropa.

Ke depan, jika Arsenal mampu menjaga konsistensi pertahanan ini, mereka bukan hanya akan sulit dikalahkan, tetapi juga berpotensi mencetak sejarah baru sebagai salah satu tim dengan barisan belakang paling solid dalam sepakbola modern.